BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam
jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita
sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan,
kecemasan akut, perasaan mati rasa secara
emosional, dan kesedihan
yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk
banyak orang lain, bencana
memberikan dampak psikologis jangka panjang, baik
yang terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh
masalah psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun
gejala-gejala yang lain juga akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat
jangka panjang yang dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang
rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang
dengan baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan,
gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari
dampak fisik dari bencana, dampak
psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih
panjang, mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan merusak nilai-nilai luhur yang
mereka miliki.
1.2
Tujuan
a. Untuk mengetahui dampak psikososial
bencana pada anak dan remaja
b. Untuk mengetahui dampak psikososial
bencana pada wanita
c. Untuk mengetahui dampak psikososial
bencana pada lansia
d. Untuk mengetahui peran perawat dalam
mengatasi dampak psikososial pada anak, remaja, wanita, dan lansia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Dampak Psikososial Dalam Bencana
a.
Dampak psikologis pada individu
Dalam
bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan dalam merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan tahap tumpang tindih.
Oleh karena itu munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi,
tergantung banyak factor, namun bisa mencapai 90% atau
bahkan lebih korban akan menunjukkan setidaknya beberapa gejala psikologis yang
negatif setelah beberapa jam paska bencana . Jika tidak diatasi dan
diselesaikan dengan tepat dan cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan
psikologis yang serius.
1.
Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari
setelah bencana.
Pada tahap ini kegiatan bantuan
sebagian besar difokuskan pada menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi. Penyintas harus ditempatkan pada lokasi
yang aman dan terlindung, pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis,
serta makanan dan air yang cukup.
Gejala-gejala dibawah ini dapat muncul
pada tahap tanggap darurat:
·
Kecemasan
berlebihan
Korban
menunjukkan tanda-tanda kecemasan, mudah terkejut bahkan oleh hal-hal yang sederhana, tidakmampu untuk bersantai, atau tidak mampu untuk membuat keputusan.
·
Rasa
bersalah
korban yang selamat, namun anggota keluarganya
meninggal, seringkali kemudian
menyalahkan diri sendiri.
Mereka merasa malu karena telah selamat, ketika orang
yang dikasihinya meninggal.
·
Ketidaksatbilan
emosi dan pikiran
Beberapa korban mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba dan bertindak agresif atau sebaliknya, mereka menjadi
apatis dan tidak peduli,
seakan kekurangan energi. Mereka menjadi mudah lupa ataupun mudah menangis.
·
Kadang-kadang,
korban muncul dalam keadaan kebingungan, histeris ataupun gejala psikotik seperti delusi, halusinasi, bicara tidak
teratur, dan terlalu perilaku tidak teratur juga dapat muncul.
2.
Tahap Pemulihan
Setelah situasi
telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai
menurun, sebagian sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara bertahap berkurang. Para korban mulai menghadapi realitas. Pada tahap ini berbagai gejala
pasca-trauma muncul,
misalnya "Pasca Trauma
Stress Disorder," "Disorder Kecemasan Generalized,"
"Abnormal Dukacita, " dan " Post Traumatic
Depresi ".
Akut
Stress Paska Trauma
Gejala-gejala
dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas kejadian yang tidak normal
(traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah ini akan menghilang seiring dengan
berjalannya waktu.
·
Emosi
Mudah
menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah, emosinya labil, mati rasa dan
kehilangan minat untuk melakukan aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu dan putus
asa.
·
Pikiran
Mimpi
buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah curiga (pada penyintas
kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi, menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat,
gambar, suara mengingatkan penyintas bencana; menghindari pembicaraan tentang hal itu
·
Tubuh
Sakit
kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung, sariawan atau sakit magh
yang terus menerus sakit kepala, berkeringat dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus haid,
hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau penglihatan, nyeri otot
·
Perilaku
Menarik
diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan,
perilaku lekat yang berlebihan atau penarikan
social,
sikap permusuhan, kemarahan, merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba bunuh diri
Post Trauma Stress Disorder (PTSD)
Meliputi: Jika setelah lebih dari dua bulan gejala
gejala di atas (ASPT) masih ada maka, maka dapat diduga mengalami PTSD, jika memunjukkan gejala
ini selepas 2 bulan dari kejadian bencana:
·
Reecperience
atau mengalami kembali
Korban
akan mengalami kembali peristiwa traumatic yang mengganggu; misalnya melalui mimpi
buruk setiap tidur, merasa mendengar, melihat kembali kejadian
yang berhubungan dengan bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus
menerus sangat hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya
dari bencana. Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka bermain perang-perangan berulang-ulang.
·
Avoidance
atau menghindar
Hal-hal
yang berkaitan dengan ingatan akan bencana, misalnya menghindari pikiran atau perasaan atau percakapan tentang bencana; menghindari aktivitas, tempat,
atau orang yang mengingatkan korban dari trauma,
ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan
pikiran yang kosong
·
Hyperarusal
atau rangsangan yang berlebihan
Misalnya
kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar,
keringat dingin, panik dan nafas
terengah-engah saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi dan mudah
terkejut.
Generalized
Anxiety Disorder
Meliputi: Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang berbagai
peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas berlebihan saat air tidak
mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu
Dukacita Eksrim
Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai. Seringkali respon pertama adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang kemarahan.
Post
Trauma Depresi
Depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling
umum dalam penelitan
terhadap penyintas trauma. Gangguan ini
sering terjadi dalam kombinasi dengan
Post Traumatic Stress Disorder. Gejala umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia
(ataupun kebalikannya hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi, nafsu makan
berkurang (atau berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan konsentrasi, apatis
dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak menunjukkan minat atau kesenangan dalam aktivitas hidup), penarikan
sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa, ditinggalkan, dan mengubah hidup tidak
dapat dibatalkan, dan lekas marah.
3.
Tahap Rekonstruksi.
Satu
tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun banyak korban mungkin telah sembuh, namun beberapa
yang tidak mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian yang
serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko bunuh diri dapat
meningkat, kelelahan kronis,
ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan
sehari-hari, dan kesulitan berpikir dengan logis. Mereka menjadi pendendam dan mudah
menyerang orang lain termasuk orang-orang yang ia sayangi. Gangguan ini pada akhirnya merusak hubungan korban
dengan keluarga dan komunitasnya.
b.
Dampak Bencana Pada Komunitas
Bencana
tidak hanya berdampak pada pribadi tapi
juga pada komunitas. Paska bencana dapat
saja tercipta masyarakat yang mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja
yang tangguh), masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling
peduli), masyarakat yang mudah melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta
damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan mampu merusak nilai-nilai
luhur yang sudah dimiliki masyarakat.
Saat korban
dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka dan bermigrasi di tempat lain, tanpa pelatihan dan bekal yang memadai,
tidak hanya kehidupan mereka yang terancam, namun juga identitas dirinya.
Mereka dipaksa menjadi peladang padahal sepanjang hidupnya adalah nelayan,
ataupun sebaliknya. Sebagai akibat jangka panjangnya, konflik perkawinan meningkat, kenaikan tingkat perceraian
pada tahun-tahun setelah bencana dapat terjadi dan juga meningkatnya kekerasan intra-keluarga (kekerasan pada anak dan pasangan).
Pemberian bantuan yang tidak terpola pada akhirnya
merusak etos kerja mereka dan terjadi ketergantungan
pada pemberi bantuan. Bencana fisik bisa menghancurkan lembaga masyarakat, seperti
sekolah dan komunitas
agama, atau dapat mengganggu
fungsi mereka karena efek langsung dari bencana pada orang yang bertanggung
jawab atas lembaga-lembaga, seperti guru atau imam. Saat
guru, tokoh adat atau tokoh agama menjadi korban dari bencana dan tidak dapat
mejalankan fungsinya, maka sarana dukungan sosial dalam komunitas menjadi
terganggung.
2.2
Dampak Psikososial Bencana Pada Anak-anak
dan Remaja
Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak
sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana. Rasa
aman utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua dan guru)
serta keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat terpengaruh
oleh reaksi orang tua mereka dan orang dewasa lainya . Jika orangtua dan guru
mereka bereaksi dengan panik, anak akan semakin ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan
kehilangan ketaraturan hidupnya. Tidak
ada jadwal yang teratur untuk kegiatan belajar, dan bermain, membuat anak
kehilangan kendali atas hidupnya.
Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra
sekolah
Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami
gangguan psikis adalalah adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk,
kelekatan, mudah marah, temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby
talk” muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya (Norris et al.
2002).
Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah
(5-12)
Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan
kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah,
menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering
bertengkar dengan saudara (Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999).
Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18
tahun
Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan
berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi
pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami
PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun
prostitusi.
2.3
Dampak Psikologis Bencana Pada Wanita
Kondisi psikososial didaerah bencana khususnya bagi
kaum perempuan mengakibatkan berbagai goncangan psikologis seperti hilangnya
rasa percaya diri, muncul kekhawatir bahkan memunculkan gejala phobia yaitu
perasaan takut yang berlebihan. Individu dan komunitas mengalami trauma dan
tekanan hidup bertubi-tubi dan berkelanjutan.
Situasi demikian dapat menurunkan motivasi untuk
mempertahankan hidup selanjutnya. Selain implikasi psikososial yang pada
umumnya muncul dikalangan perempuan, biasanya mereka mengalami pengalaman
traumatis dimana daya penyesuaian satu individu dengan individu lainnya akan
mengalami kendala. Hal tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya:
a.
Gambaran umum tentang dirinya,
b.
Dukungan sosial yang diterimanya,
c.
Kapasitas berpikir dan penyesuaian diri,
d.
Tingkat keparahan,
e.
Pengalaman traumatik
Selain itu korban bencana akan
mengalami perubahan dalam kepribadian yang berpengaruh pada tingkat fungsi dan
hubungan dengan lingkungan sekitarnya dan bahkan mereka tidak mampu menata
kembali hidup mereka. Sebagian besar dari korban bencana mengalami gejala
temporer. Gejala yang paling popular adalah stres dan stres paska
trauma yang seringkali menghinggapi korban-korban bencana. Stres terjadi
karena adanya situasi eksternal atau internal yang memunculkan tekanan atau
gangguan pada keseimbangan hidup individu.
Kaum perempuan di daerah bencana
karena hidup dengan kondisi yang lebih lebih buruk dari sebelumnya maka
memunculkan perasaan gelisah, sedih, tak berdaya dan bingung. Harapan hidupnya
seolah-olah hilang. Depresi akan mucul akibat ketidakmampuan melakukan
perubahan. Individu dan komunitas mengalami situsi belajar dari pengalaman dan
situasi hidup bahwa mereka tidak mampu mengatasinya. Trauma yang muncul ini
bersifat kolektif dan memberikan dampak psikososial.
Beberapa gejala yang pada umumnya muncul akibat
bencana adalah sebagai berikut:
1.
Ingatan yang senantiasai mencengkeram berbagai
bayangan tentang trauma
2.
Perasaan seolah-olah trauma muncul kembali
3.
Mimpi buruk
4.
Gangguan tidur
5.
Gangguan makan (muntah/mual)
6.
Gangguan saat mengingat traumna
7.
Ketakutan
8.
Kewaspadaan yang berlebih
9.
Kesulitan mengendalikan emosi
10. Kesulitan berkonsentrasi
2.4
Dampak Psikologis Bencana Pada Lansia
Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan
fisik dan mental. Kemampuan adaptasi yang dimiliki juga sudah sangat jauh
berkurang, sehingga sangat rentan terhadap perubahan. Selain itu kaum lanjut usia ini juga
telah kehilangan peran, sehingga merasa dirinya tidak berarti dan tidak
dibutuhkan lagi oleh keluarganya. Mereka juga rentan terhadap kemungkinan
diabaikan oleh keluarga.
2.5 Peran Perawat dan Aktivitas Psikososial Dalam Menanggulangi Dampak Psikososial
a. Aktivitas Psikososial Berdasarkan Tahap Bencana
Tahap Tanggap Darurat : Pasca
dampak-langsung
·
Menyediakan
pelayanan intervensi krisis untuk pekerja bantuan, misalnya defusing dan
debriefing untuk mencegah secondary trauma
·
Memberikan
pertolongan emosional pertama (emotional first aid), misalnya berbagai macam
teknik relaksasi dan terapi praktis
·
Berusahalah
untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.
·
Menghidupkan
kembali aktivitas rutin bagi anak
·
Menyediakan
informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.
Tahap Pemulihan: Bulan pertama
·
Lanjutkan
tahap tanggap darurat
·
Mendidik
profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan dengan efek trauma
·
Melatih konselor bencana tambahan
·
Memberikan
bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada penyintas
·
Menghidupkan
kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat
Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua
·
Lanjutkan
tugas tanggap bencana.
·
Memberikan
pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang reseliensi atau ketangguhan.
·
Mengembangkan
jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka yang masih membutuhkan
pertolongan psikologis.
·
Menyediakan
"debriefing" dan layanan lainnya untuk penyintas bencana yang
membutuhkan.
·
Mengembangkan
layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas lainnya berbasis lembaga.
Fase Rekonstruksi
·
Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi pekerja
kemanusiaan dan penyintas bencana.
·
Melanjutkan
program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana lagi.
·
Pertahankan
"hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa menghubungi konselor
jika mereka membutuhkannya.
·
Memberikan
pelatihan bagi profesional dan relawan lokal tentang pendampingan psikososial
agar mereka mampu mandiri.
b. Aktivitas Psikososial Berdasarkan Kelompok Usia
Anak-anak
Dukungan psikososial dapat
diberikan dalam berbagai bentuk kegiatan dan program, namun perlu diingat bahwa
segala bentuk interaksi dengan anak berpotensi untuk memulihkan anak secara
psikologis. Hal ini penting untuk difahami oleh semua pekerja kemanusiaan yang
terlibat dalam respons bencana, baik yang bekerja langsung dengan anak maupun
tidak. Dukungan ini tidak hanya berarti bekerja dengan anak, tetapi juga dengan
orang tua, warga sekitar dan organisasi lain untuk membantu anak memperoleh
akses dan pelayanan dasar yang perlu mereka dapatkan. (Unicef Indonesia –
Perlindungan Anak dalam Keadaan Darurat).
Hal
utama yang perlu dilakukan adalah bersikap tenang saat bersama dengan
anak-anak, karena reaksi orang dewasa akan mempengaruhi reaksi anak. Mulailah membuat
kegiatan yang teratur dan rutin bagi anak. Kegiatan yang teratur adalah salah
satu kebutuhan psikososial utama bagi anak-anak. Anak-anak akan merasa aman jika segera
melakukan aktivitas yang sama/mirip dengn aktivitas rutin yang dilakukan
sebelum bencana. Oleh karena itu penting sekali, untuk segera menyelenggarakan
sekolah darurat, mencari tempat yang aman bagi anak-anak untuk bermain di sore
hari, mengajak anak untuk mengaji di sore hari (atau bible study untuk
anak-anak Nasrani).
Hal
utama yang perlu dilakukan adalah bersikap tenang saat bersama dengan
anak-anak, karena reaksi orang dewasa akan mempengaruhi reaksi anak. Mulailah
membuat kegiatan yang teratur dan rutin bagi anak. Kegiatan yang teratur adalah
salah satu kebutuhan psikososial utama bagi anak-anak. Anak-anak akan merasa aman jika segera
melakukan aktivitas yang sama/mirip dengn aktivitas rutin yang dilakukan
sebelum bencana. Oleh karena itu penting sekali, untuk segera menyelenggarakan
sekolah darurat, mencari tempat yang aman bagi anak-anak untuk bermain di sore
hari, mengajak anak untuk mengaji di sore hari (atau bible study untuk
anak-anak Nasrani).
Dukungan
psikososial diberikan dalam beberapa bentuk, seperti Mengajak anak-anak
melakukan kegiatan-kegiatan atraktif, bermain, bernyanyi dan
perlombaan-perlombaan sederhana untuk memotivasi semangat dan menyalurkan emosi
anak. Pemulihan aktifitas pendidikan melalui pembelajaran transisi
di tenda
atau sekolah darurat. Dapat didukung dengan kegiatan menggambar, menulis cerpen
tentang pengalaman sehari-hari atau pengalaman saat peristiwa bencana terjadi
atau impian masa depan. Menggali potensi, bakat
dan minat anak dibidang seni, olah raga dan permainan-mainan tradisional lokal. Juga konseling
personal untuk kelompok anak yang mengalami stress akut (teridentifikasi
mengalami trauma).
Remaja
1. Mengajaknya Sholat dan Zikir untuk
relaksasi
2. Melakukan aktifitas sosial
3. Melakukan aktifitas olahraga
4. Melakukan aktifitas kesenian seperti
menari, menyanyi, main
musik, drama, melukis, dan lain-lain
5. Menulis
6. Menonton film
Orang Dewasa
1. Ajak untuk perbanyak melakukan kegiatan
agama
2. Temani mereka
3. Ajak bicara tentang apa saja sehingga
ia tidak merasa sendiri
4. Menjadi pendengar yang baik terutama
saat ia menceritakan
perasaannya tentang bencana yang menimpa
5. Dorong korban untuk banyak beristirahat
dan makan yang cukup
6. Ajak korban melakukan aktifitas yang
positif
7. Ajak korban untuk melakukan kegiatan
rutin sehari-hari
8. Ajak bercanda dengan menggunakan humor
ringan
9. Ajak berbincang-bincang tentang kondisi
saat ini diluar
10. Membantu menemukan sanak saudara yang
masih terpisah
11. Memberikan informasi yang dibutuhkan
sehingga menimbulkan harapan
Wanita
Dalam
memulihkan diri sendiri :
1. Mengungkap masalah yang dirasakan kepada
orang yang dipercayai
2. Merawat dan menjaga kesehatan diri, baik
fisik maupun psikis
3. Melakukan aktivitas-aktivitas yang
disukai yang dapat mengalihkan dari pikiranpikiran akan kejadian, baik
dilakukan sendiri maupun secara berkelompok
4. Belajar Ketrampilan Baru
5. Mencoba iklas dan mendekatkan diri
kepada-Nya
Membantu
keluarganya dalam memulihkan kondisi pasca bencana
1. Memberikan pengetahuan dan informasi
mengenai bencana (gempa, banjir, tsunami, longsor dll) kepada anak dan keluarga
2. Saling mendukung dan memperhatikan
sesama anggota keluarga, serta memberikan perhatian lebih kepada anggota
keluarga yang masih memiliki masalah akibat bencana dan peristiwa sulit
3. Memberikan dukungan kepada anak untuk
melakukan kegiatan baik di sekolah maupun di luar sekolah
4. Apabila dia berperan sebagai orang tua
tunggal, maka dia bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga sesuai dengan kemampuan/ketrampilan yang
dimiliki.
Memulihkan
sesama perempuan dalam komunitas:
1. Saling memberikan perhatian kepada
sesama perempuan korban bencana yang tinggal di sekitarnya.
2. Saling bercerita dan berbagi perasaan
antar sesama perempuan di komunitas
3. Saling memberi informasi kepada sesama
perempuan baik dalam hal mengembangkan usaha (industri kecil) bersama-sama dan
dapat berupa informasi lainnya.
4. Mengajak rekan perempuan dalam komunitas
agar lebih percaya diri, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok
5. Bersama-sama ikut memberikan pendapat
dalam rapat atau pertemuan penyelesaian masalah karena suara perempuan juga
penting.
Lansia
1. Berikan keyakinan yang positif
2. Dampingi pemulihan fisiknya dengan
melakukan kunjungan berkala
3. Berikan perhatian yang khusus untuk
mendapatkan kenyamanan
pada lokasi penampungan
4. Bantu untuk membangun kembali kontak
dengan keluarga maupun lingkungan sosial lainnya
5. Dampingi untuk menapatkan pengobatan dan
bantuan keuangan
BAB III
PENUTUP
Selain dampak fisik, bencana juga berdampak pada psikososial. Munculnya gejala gangguan psikologis dapat bervariasi,
tergantung banyak factor. Jika tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan
cepat, reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius.
Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada komunitas. Paska bencana dapat saja tercipta masyarakat yang
mudah meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh), masyarakat yang
saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli), masyarakat yang mudah
melakukan kekerasan (padahal sebelumnya cinta damai).
Kelompok yang beresiko terkena gangguan psikosial adalah
anak-anak, remaja, wanita dan lansia. Untuk anak- anak bencana bisa sangat
menakutkan, fisik mereka yang tidak sekuat orang dewasa membuat mereka lebih
rentan tehadap ancaman bencana. Pada remaja, kejadian traumatis akan
menyebabkan berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak
menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan
mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol
ataupun prostitusi. Kondisi psikososial didaerah bencana khususnya bagi
kaum perempuan mengakibatkan berbagai goncangan psikologis seperti hilangnya
rasa percaya diri, muncul kekhawatir bahkan memunculkan gejala phobia yaitu
perasaan takut yang berlebihan. Sedanglan para lansia telah mengalami penurunan kemampuan
fisik dan mental. Kemampuan adaptasi yang dimiliki juga sudah sangat jauh
berkurang, sehingga sangat rentan terhadap perubahan.
Untuk mengatasi masalah diatas,
dilakukan berbagai inervensi. Salah
satu pendekatan yang dilakukan dalam menangani korban-korban bencana khususnya
permasalahan psikologis dalam lingkungan masyarakat adalah metode intervensi
psikososial. Intervensi psikologis merupakan kegiatan untuk mencari jawaban
tentang kebutuhan psikologis dan sosial secara kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney,
Farsijana. (2007). Perempuan dan Bencana.
Yogyakara : Selendang Ungu Press
Kharismawan,
Kuriake. Panduan Program Psikososial Paska Bencana. Diakses tanggal 30 April 2012 dari http://www.sintak.unika.ac.id/
Lubis, Misran.
(2010). Perlindungan Anak Dalam Situasi Bencana. Diakses tanggal 30 April 2012
dari http://www.ccde.or.id
Martam, Irma
S. (2010). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Diakses tanggal 30 April
2012 dari http://www.pulih.or.id
makasi sharenya. salam kenal,
BalasHapus