BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Cidera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya
berakibat pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang
harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban
kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita cedera kepala.
Menurut
paparan dr Andre Kusuma SpBS dari SMF Bedah Saraf RSD dr Soebandi Jember,
cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat non-
degenerative, non-congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang
mungkin menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang
sifatnya menetap maupun sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya
tingkat kesadaran.
Dari
definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati
kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya
kecepatan menolong penderita.
Di
samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya ( Mansjoer, 2000 ).
Berdasarkan hal-hal dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk
mengambil kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan pada klien Tn. A dengan
diagnosa Cidera Kepala Ringan di Institut Gawat Darurat RSUD Dr Rasidin,
Padang”
1.2
Tujuan
Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui defenisi Cidera Kepala
2.
Untuk
mengetahui etiologi Cidera Kepala
3.
Untuk
mengetahui klasifikasi Cidera Kepala
4.
Untuk
mengetahui patofisiologi Cidera Kepala
5.
Untuk
mengetahui manifestasi klinis Cidera Kepala
6.
Untuk
mengetahui pemeriksaan diagnostik dan penunjang Cidera Kepala
7.
Untuk
mengetahui penatalaksanaan Cidera Kepala
8.
Untuk
mengetahui komplikasi Cidera Kepala
9.
Untuk
mengetahui asuhan keperawatan pada paien Cidera Kepala
1.3
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang penulis angkat dalam makalah ini adalah:
1.
Apakah yang dimaksud dengan Cidera Kepala?
2.
Bagaimanakah
etiologi Cidera
Kepala?
3.
Apa saja klasifikasi Cidera Kepala?
4.
Bagaimanakah
patofisiologi Cidera
Kepala?
5.
Apakah manifestasi klinis Cidera Kepala?
6.
Bagaimanakah
pemeriksaan diagnostik dan penunjang Cidera Kepala?
7.
Bagaimanakah
penatalaksanaan Cidera
Kepala?
8.
Apa saja komplikasi Cidera Kepala?
9.
Bagaimanakah
asuhan keperawatan pada paien Cidera Kepala?
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1
Defenisi
§ Cedera
kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi, 2001).
§ Cedera
kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner
& Soddarth, 2002 )
§ Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit
neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan
raya ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
§ Cedera
kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran. Traumatik
yang terjadi pada otak yang mampu menghasilkan perubahan pada phisik,
intelektual, emosional, sosial, dan vocational (Susan Martin, 1999)
§ Trauma
atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang
dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik,
intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai
bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan – perubahan
fungsi otak (black, 2005)
§ Menurut
konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis =
head injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury
merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen
2.2 Etiologi
a.
Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera
lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan
otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma oleh benda tumpul dan
menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi
karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
Etiologi lainnya:
a.
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan
kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
b.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak
dengan ketergantungan.
c.
Cedera akibat kekerasan.
2.3
Klasifikasi
a. Menurut
Jenis Cedera
§
Cedera Kepala terbuka
Dapat
menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak
§
Cedera kepala tertutup
Dapat
disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas
b.
Menurut
berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
§ Cedera Kepala ringan (kelompok
risiko rendah)
-
GCS
13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
-
Kehilangan
kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
-
Tak ada fraktur
tengkorak
-
Tak
ada contusio serebral (hematom)
-
Tidak ada intoksikasi
alcohol atau obat terlarang
-
Pasien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing
-
Pasien
dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
-
Tidak
adanya criteria cedera sedang-berat
§ Cedera kepala sedang
-
GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
-
Kehilangan kesadaran
lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
-
Dapat mengalami fraktur
tengkorak
-
Amnesia pasca trauma
-
Muntah
-
Kejang
§ Cedera kepala berat
-
GCS 3-8 (koma)
-
Kehilangan kasadaran
lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
-
Diikuti
contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
-
Tanda neurologist fokal
-
Cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
c. Menurut
morfologi
§ Fraktur
tengkorak
-
Kranium:
linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup
-
Basis: dengan/tanpa
kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
-
Fokal:
epidural, subdural, intraserebral
-
Difus:
konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
d.
Menurut patofisiologi
·
Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme
dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada
jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
-
Gegar kepala ringan
-
Memar otak
-
Laserasi
·
Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan
timbul gejala, seperti :
-
Hipotensi sistemik
-
Hipoksia
-
Hiperkapnea
-
Udema otak
-
Komplikasi pernapasan
-
Infeksi / komplikasi pada organ
tubuh yang lain
Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu
Kerusakan
pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu
pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi
yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
a. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus
frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada
lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,
tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan
yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan
luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati,
ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke
bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah
teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam;
penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus
parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan
berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan
bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan
posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada
sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia)
dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan
yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya
atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding).
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
c. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru
saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan
pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang
berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam
mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang
non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda,
tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah
seksual.
Cedera Spesifik Otak Kepala
a. Fraktur
Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area
tengkorak
Fraktur Basiler: Pada
dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian Frontal atau temporak
Fraktur ini cukup
serius karena menimbulkan kontak antara CSS
dan dunia luar melalui ruang subarachnoid dan sinus yang mengandung
udara dari wajah atau tengkorak,
memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini bisa
melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan drahnya ke dalam rongga di
sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar
tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal
(cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau
telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika
pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
b. Geger
Serebral (Contusio)
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada
otak, yang biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala.
Robekan otak adalah robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh
luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak.
Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada otak yang dapat menimbulkan
pembengkakan Bakteri ringan dari cedera otak menyebar, disfungsi neurologis
bersifat sementara dapat pulih. Disorientasi dan bingung sesaat dengan gejala sakit kepala, tak
mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing, peka omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa
menyebabkan herniasi otak.
c. Memar
/ Laserasi cerebral (Komosio)
Komosio cerebral setelah cedera kepala
adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah periode tidak
sadarkan diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan otak di
lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh,
dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Komosio cerebral ini merupakan memar pada permukaan otak yang terdiri dari area
hemoragi kecil-kecil yang tersebar,
gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah cedera dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada
scan tomografi terlihat masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.
Tindakan terhadap
komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap adanya sakit kepala, pusing,
peka rangsang, dan ansietas (sindrom
pasca-komosio), yang dapat mengikuti tipe cedera. Dengan memberi pasien informasi,
penjelasan, dan dukungan pada pasien dapat mengurangi beberapa masalah sindrom pasca - komosio.
d. Hematom
Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian
dalam dan
lapangan meningens paling luar (dura), terjadi karena robekan cabang kecil arteri meningeal tengah
atau frontal. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki
tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.
Tanda dan gejala berupa
sakit kepala hebat yang bias segera timbul tetapi bias juga muncul beberapa jam
setelah cedera dengan intensitas nyeri tidak tetap, penurunan kesadaran ringan,
diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi dari kacau mental sampai
coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor sampai anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan
darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.
e. Hematoma
Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan
meningeal duramater diatas lapangan arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya
robekan permukaan dan lebih sering pada lansia dan alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau
mental, kejang disfasia. Hematoma
subdural berasal dari perdarahan pada vena
di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih
ringan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural
dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada ukuran pembuluh yang
terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1.
Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau
laserasi. Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan
serius dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Cedera ini sering berkaitan dengan
cedera deselerasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya pasien dalam
keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah
meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan
cepat.
2.
Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48
jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang
subdural. Riwayat klinis khas dari penderita hematoma subdural subakut adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti penurunan
kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara bertahap. Namun setelah
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan penurunan status neurologik.
Tingkat kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan TIK,
lalu terjadi herniasi unkus atau
sentral. Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut dan sub akut,
karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
3.
Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor,
terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi otak karena proses penuaan.
Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk
menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negative. Waktu di antara
cedera dan awitan gejala mungkin lama, sehingga akibat actual mungkin
terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera minor. Hematoma
subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap sebagai stroke.
kesadaran
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik
ini daapt dilakukan melalui lubang burr ganda,
atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn
tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.
a. Hematoma
Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml
dalam parenkim otak, penyebabnya adalah
fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba
tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias juga terjadi
karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural)
atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma
epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT
scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal adalam
beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering
terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala
setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma
yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya
menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak
bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan
intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada
salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung,
atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan,
terutama pada usia lanjut.
b.
Konkusio
Konkusio adalah
hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera
pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural
yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan,
tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa
menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal;
sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau
hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi,
menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan.
Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio.
Sindroma pasca konkusio
masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa sindroma ini biasanya
terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat,
apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis.
Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita
sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio
adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau
kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan
rasa mengantuk bertambah parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya,
jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan
pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai
pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah,
biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak
parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
2.1 Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai
kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah serebral dan menjamin aliran
daerah konstan melalui pembuluh darah serebral. Faktor-faktor ini dapat
mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta
mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia, pada
klien dengan kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
serebral juga dapat meningkatkan TIK. Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan
tekanan yang dikeluarkan oleh kombinas dari 3 komplemen intrakranial yaitu
jaringan otak, CSS dan darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume
intrakranial sama dengan volume otak ditambah volume darah serebral dan CSS,
dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap komponan karena gangguan kranial dapat
menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya
iskemia, kekakuan otak dan kemungkinan herniasi. Peningkatan TIK berkembang
pada hampir semua klien dengan lesi intra kranial setelah mengalmi cedera
kepala. Pada semua klien dengan cedera kepala bera, peningkatan TIK yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala
dimulai dengan adanya trauma pada otak yang dapat menyebkan fragmentasi
jaringan dna contusio, merusakn sawar otak, diserbtai vasodilatasi dan eksudasi
jaringan sehingga timbul edema yang dapat menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan
ini dapat menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan
kerusakan sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan edema
bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah
50 - 60 ml / menit / 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac
output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P
dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi
tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah
arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
WOC
(Terlampir)
2.2 Manifestasi
Klinis
Adapun manifestasi
klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
1. Gangguan
kesadaran
2. Konfusi
3. Abnormalitas
pupil
4. Piwitan
tiba-tiba defisit neurologis
5. Perubahan
TTV
6. Gangguan
pergerakan
7. Gangguan
penglihatan dan pendengaran
8. Disfungsi
sensori
9. Kejang
otot
10. Sakit
kepala
11. Vertigo
12. Kejang
13. Pucat
14. Mual dan
muntah
15. Pusing
kepala
16. Terdapat
hematoma
17. Kecemasan
18. Sukar untuk
dibangunkan
19. Bila
fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
Akibat
Dari Trauma Otak Ini Tergantung Pada:
1.
Kekuatan
benturan
Makin besar benturan makin parah kerusakan
2.
Akselerasi
/ Deselerasi
Akselerasi = Benda yang bergerak mengenai kepala yang
diam
Desekrasi = Kepala membentur benda diam
Keduanya bisa bersamaan terjadi bila gerakan kepala
tiba-tiba tanpa kontak langsung.
3.
KUP
dan Kontra KUP
Cedera KUP Kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
Kontra
KUP Kerusakan cedera berlawanan pada
sisi desakan benturan
4.
Lokasi
Benturan
Bagi otak yang tersebar kemungkinan cedera kepala terberat adalah
bagian lotus anterior (Frontalis & temporalis) Lobus posterior (oksipitalis
dan atas mesenfalon).
5.
Rotasi
Pengubahan posisi rotasi kepala menyebabkan trauma regangan &
robekan pada substansia alba dan batang otak.
6.
Fraktur
Impresi
Disebabkan oleh suatu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun
menekan otak yang lebih dalam. Akibat fraktur ini kemungkinan CSS akan mengalir
ke hidung, telinga kemudian masuknya
kuman dan terkontaminasi dengan CSS
dapat menimbulkan infeksi dan kejang.
2.3
Pemeriksaan Penunjang
1.
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
: Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2.
MRI :Digunakan
sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3.
Cerebral Angiography :Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4.
Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5.
X-Ray :Mendeteksi
perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6.
BAER : Mengoreksi
batas fungsi corteks dan otak kecil
7.
PET : Mendeteksi
perubahan aktivitas metabolisme otak
8.
CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9.
ABGs : Mendeteksi
keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intracranial.
10. Kadar
Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
11. Screen
Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
2.4
Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan
therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1.
Observasi 24 jam
2.
Jika pasien masih muntah sementara
dipuasakan terlebih dahulu.
3.
Berikan terapi intravena bila ada
indikasi.
4.
Anak diistirahatkan atau tirah
baring.
5.
Profilaksis diberikan bila ada
indikasi.
6.
Pemberian obat-obat untuk
vaskulasisasi.
7.
Pemberian obat-obat analgetik.
8.
Pembedahan bila ada indikasi.
Pedoman
Resusitasi Dan Penilaian Awal
1.
Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan
memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien
harus diintubasi.
2.
Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan,
selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga
saturasi oksigen minimum 95 %. Jika jalan napas pasien tidak terlindung bahkan
terancam, maka pasien harus segera diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestersi.
3. Menilai
sirkulasi: otak
yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan
arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat
frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila
tersedia.pasang jalur intravena yang bessar, ambil darah vena untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan AGD arteri. Berikan
larutan koloid.
4. Obati kejang: kejang
konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
5. Menilai
tingkat/ klasifikasi keparahan cedera
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada
semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2.
pada
semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
§
pasang
jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer Laktat:
cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan
hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
§
Lakukan
pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial,
skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto
roentgen kepal tidak perlu jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih
sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera kepala ringan, sedang,
atau berat harus dievaluasi adanya:
§ Hematoma
epidural
§ Darah
dalam subarakhnoid dan interventrikel
§ Kontusio
dan perdarahan jaringan otak
§ Edema
serebri
§ Obliterasi
sisterna perimesenfalik
§ Pergeseran
garis tengah
§
Fraktur
kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau
pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini:
§ Elevasi
kepala 30°
§ Hiperventilasi:
intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
§ Pasang
kateter Foley
§ Konsul
bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar,
hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera
kepala ringan
Pasien
dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
§ Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
§ Foto
servikal jelas normal
§ Adanya
orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul
gejala perburukan
2. Cedera
kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15
dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera
kepala berat
Setelah
penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini
apakah terdapat indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah
saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan
untuk mengatasi kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat
mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau peningkatan
TIK. Kejang umum yang terjadi setelah cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan
otak sekunder karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan dapat dimulai.
Tindakan terhadap
penalaksanaan peningkatan TIK
1. Mempertahankan
oksigenasi adekuat.
2. Pemberian
manitol untuk menurunkan edema serebral.
3. Hiperventilasi
4. Penggunaan
steroid
5. Meninggikan
kepala tempat tidur
6. Kemungkinan
intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
1. Ventilasi
2. Pencegahan
kejang dengan antikonvulson
3. Pemeliharaan
cairan dan elektrolit
4. Keseimbangan
nutrisi
5. Mempertahankan
jalan nafas.
Rencana
Pemulangan
1. Jelaskan
tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2.
Ajarkan orang tua untuk mengenal
komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam,
kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan
tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian
obat.
4. Ajarkan
orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan
ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah,
kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM
bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan
bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan
pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada
orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
2.5 Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah
suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami
cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun
kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala
hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang
memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat
anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada
seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya
kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai
waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya
kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di
otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian
otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut
karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa
aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah
ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian
gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan
pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada
penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu
kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak
dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut.
Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik
atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat
melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus
parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan
fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan
khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya
sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja
terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat
sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi
retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan
(amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit
sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang
dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk
menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di
dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia
menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang,
yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau
bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa
mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama.
Amnesia
Korsakoff
terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff juga bisa
terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis
akut.
6. Fistel
Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus,
kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk
konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah
hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes
Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan
deplesi volum.
8.
Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam
pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang
segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini
menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran
cairan serebrospinal
Dapat
disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan
cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala
setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat
proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat,
pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea
cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi
untuk reparative.
10. Edema
serebral dan
herniasi
Penyebab
paling umum dari peningkatan TIK, Puncak
edema terjadi 72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala
klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh
tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus
menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat,
terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer
otak kebawah / lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat
vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal,
serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi
dan pengatur akan gagal.
11. Defisit
Neurologis dan
Psikologis
Tanda
awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala hebat,
Mual / muntah proyektil (tanda dari
peningkatanTIK).
2.6 Asuhan
Keperawatan
1.
Pengkajian Primer
·
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
·
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan,
tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping
hidung.
·
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
·
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran
Kualitatif
dengan :
-
CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan
sekeliling , orientasi baik terhadap orang tempat dan waktu.
-
Apatis
Terlihat
mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya.
-
Confuse
Klien
tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
-
Samnolen
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila
rangsangan hilang, klien tidur lagi.
-
Soporous Coma
Keadaan
tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya
inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
-
Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan
rangsangan.
Kuantitas dengan GCS
1. Mata
(eye)
-
Selalu menutup mata
dengan rangsangan nyeri 1
-
Membuka
mata dengan rangsangan nyeri 2
-
Membuka mata dengan
perintah 3
-
Membuka mata spontan 4
2. Motorik
(M)
-
Tidak
berespon dengan rangsangan nyeri 1
-
Eksistensi dengan
rangsangan nyeri 2
-
Fleksi
lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
-
Fleksi siku dengan
rangsangan nyeri 4
-
Dapat
bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
-
Bergerak sesuai
perintah 6
3. Verbal
(V)
-
Tidak ada suara 1
-
Merintih 2
-
Dapat
diajak bicara tapi tidak mengerti 3
-
Dapat diajak bicara
tapi kacau 4
-
Dapat berbicara,
orientasi baik 5
·
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2.
Pengkajian
Sekunder
a. Riwayat
Kesehatan Sekarang
Tanyakan
kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera: Peluru
kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan
kekuatan pukulan?
b. Riwayat
Penyakit Dahulu
Apakah
klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah
ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien
dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau
gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya.
Bagaimana asupan nutrisi.
c. Riwayat
Keluarga
Apakah
ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM,
hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
d.
Pengkajian
Head To Toe
1. Pemeriksaan
kulit dan rambut
Kaji
nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
2. Pemeriksaan
kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari
kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji kesimetrisan, edema, lesi,
maupun gangguan pada indera. Pada penderita stroke biasanya terjadi gangguan
pada penglihatan maupun pembicaraan
3. Pemeriksaan
dada
·
Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi : suara paru (pekak, redup, sono,
hipersonor, timpani)
·
Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
Batas normal jantung yaitu:
Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II
LSB, kanan bawah: SIC IV RSB, kiri bawah: SIC V medial 2
MCS
4. Pemeriksaan
abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk
abdomen, gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya
nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
5. Pemeriksaan
ekstremitas
Kaji
warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu.
Analisa
Data
Data
|
Etiologi
|
Masalah
|
DO :
- GCS
klien turun, gelisah
- Mual,
muntah.
- Pupil
anisokor
- TD
meningkat
- Suhu
meningkat
- Akral
dingin
- Sianosis
pada kuku
DS :
- keluarga mengatakan
klien selalu gelisah dan kadang terlihat seperti
mengantuk
- Keluarga
mengatakan klien selalu memuntahkan apa yang dimakannya
|
Trauma
à kerusakan sel darah otak
àvasodilatasi pembuluh darah
à
eksudasi
à
edema serebral
à
peningkatan TIK
|
Perfusi jaringan
serebral tidak efektif
|
DS :
- keluarga
mengatakan klien
terlihat sesak napas
- keluarga
mengatakan bunyi napas klien terdengar ngorok
DO :
- Terdapat
banyak sekret pada jalan nafas
- Bunyi
napas ngorok
- Frek
nafas : > 40-50 X/mnt
- Suhu
meningkat
- Klien ditinggikan kepala
dan diekstensikan kepalanya
- Nafas
tidak teratur.
|
Kerusakan neuro
muscular
à
Adanya sekresi
|
Bersihan
jalan nafas tidak efektif
|
DO:
- Disorientasi
terhadap waktu, tempat dan orang
- Perubahan
dalam respon terhadap ransangan
- Inkoordinasi
motorik, perubahan dalam postur, ketidakmampuan untuk memberi tahu posisi
bagian tubuh
- Perubahan
pola komunikasi
- Distorsi
auditorius dan visual
- Konsentrasi
buruk, berpikir kacau
- Respon
emosional berlebihan
- Perubahan
pola perilaku
DS : keluarga
mengatakan klien tidak sadar
|
Defisit neurologist
à
Kerusakan n.olfaktorius
à
kompresi n.olfaktorius
à
herniasi otak
à
edema jar otak
à
kerusakan sel darah otak
à
kurang aliran darah ke otak
|
Perubahan persepsi
sensori
|
DO :
- Apraksia, hemiparese, quadriplegia
-Kelemahan fisik,
termasuk mobilitas di tempat tidur, pemindahan, ambulasi
-Kerusakan koordinasi,
penurunan kontrol otot
DS :
-Hilang keseimbangan
-Sulit menggenggam
-Lemah
|
kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan/tahanan, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan (tirah baring,
imobilisasi)
|
Kerusakan mobilitas fisik
|
DO :
-Gangguan pengecapan dan penciuman
-Penurunan bising usus
-Gangguan mencerna dan menelan akibat fraktur
-Penurunan kesadaran
DS :
-Mual dan muntah
-Sulit
mencerna/menelan makanan
-Letargi, gelisah,
lemah
|
Perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient
(penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah
dan menelan, status hipermetabolik
|
Resiko tinggi terhadap
perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
|
Diagnosa
Keperawatan
1.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan
neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
2.
Pola napas tidak
efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
3.
Perfusi
jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
4.
Perubahan
persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
5. Resti
infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
6.
Kerusakan
mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
7.
Resti
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran,
mual, muntah.
NANDA
|
NOC
|
NIC
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif
b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
Batasan karakteristik:
·
Tidak adanya batuk
·
Bunyi nafas yang menguntungkan
·
Perubahan nilai nafas
·
Perubahan irama pernafasan
·
Cyanosis
·
Kesulitan bersuara
·
Pengurangan bunyi nafas
·
Dyspnea
·
Kelebihan dahak
·
Batuk yang tidak efektif
·
Orthopnea
·
Kurang istirahat
·
Mata yang melebar
|
Status pernapasan: jalan napas paten
Indikator:
·
Tidak ada demam
·
Tidak ada cemas
·
Tidak ada hambatan jalan napas
·
Pengeluaran dahak
·
Bebas dari bunyi napas
|
Manajemen jalan napas
Aktivitas
·
Membuka jalan nafas dengan cara dagu diangkat
atau rahang ditinggikan.
·
Memposisikan pasien agar mendapatkan
ventilasi yang maksimal.
·
Mengidentifikasi pasien berdasarkan
penghirupan nafas yang potensial pada jalan nafas.
·
Penghirupan nafas melalui mulut atau
nasopharing.
·
Memberikan terapi fisik pada dada.
·
Mengeluarkan sekret dengan cara batuk atau
penyedotan.
·
Mendorong pernapasan yang dalam, lambat,
bolak-balik, dan batuk.
·
Menginstruksikan bagaimana batuk yang
efektif.
·
Mendengarkan bunyi nafas, mancatat daerah
yang mangalami penurunan atau ada tidaknya ventilasi dan adanya bunyi
tambahan.
·
Melakukan penyedotan pada endotrakea atau
nasotrakea.
·
Memeriksa bronchodilators dengan tepat.
·
Mengajarkan pasien bagaimana penghirupan
nafas yang tepat.
·
Memberikan perawatan ultrasonic.
·
Memberikan oksigen yang tepat.
·
Memeriksa keadaan pernafasan dan oksigen.
|
Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi
trakeobronkial
Batasan karakteristik:
·
Napas dalam
·
Perubahan gerakan dada
·
Mengambil posisi tiga titik
·
Bradipneu
·
Penurunan tekanan ekspirasi
·
Penurunan tekanan inspirasi
·
Penurunan ventilasi semenit
·
Penurunan kapasitas vital
·
Dispneu
·
Peningkatan diameter anterior-posterior
·
Napas cuping hidung
·
Ortopneu
·
Fase ekspirasi yang lama
·
Pernapasan pursed-lip
·
Takipneu
·
Penggunaan otot-otot
bantu untuk bernapas
|
Status pernapasan:ventilasi
Indikator:
·
Frekuensi napas IER*
·
Irama napas IER
·
Kedalaman inspirasi
·
Pengembangan dada
simetris
·
Kenyamanan bernapas
·
Penggunaan otot
aksesoris/tambahan tidak ada
·
Suara napas tambahan
tidak ada
·
Penarikan dada tidak ada
·
Pengerutan bibir pada
saat bernapas tidak ada
·
Dispnea saat istirahat
tidak ada
·
Dispnea dengan
pengerahan tenaga tidak ada/hilang
·
Orthopnea tdak
ada/hilang
·
Napas pendek tidak
ada/hilang
·
Fremitus tidak
ada/hilang
·
Suara perkusi tidak
ada/hilang
·
Auskultasi suara napas,
IER
·
Volume tidal IER
·
Kapasitas vital IER
|
Terapi oksigen
Aktivitas:
·
Menyediakan peralatan pemberian oksigen,
sistem kekebalan.
·
Memberikan oksigen tambahan, sesuai petunjuk
dokter.
·
Mengontrol aliran oksigen.
·
Memeriksa alat pentransferan oksigen.
·
Memeriksa secara berkala alat pemberian
oksigen untuk memastikan bahwa telah sesuai dengan resep untuk konsentrasi
yang diberikan.
·
Mengubah tempat masker oksigen kapan saja
alat tersebut dipindahkan.
·
Mengamati tanda-tanda oksigen yang
menyebabkan hypoventilasi
·
Memeriksa tanda-tanda keracunan oksigen dan
penyerapan atelektasis.
·
Memeriksa alat pernafasan untuk memastikan
ketidakcampuran dengan usaha pasien untuk bernafas.
·
Memeriksa/mengontrol kecemasan pasien yang
mempengaruhi terapi oksigen.
·
Memeriksa kerusakan kulit karena pergeseran
alat bantu pernafasan.
·
Memasukkan/memberikan alat bantu nafas yang
lain untuk kenyamanan.
|
Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
Faktor resiko:
·
Trauma kepala
·
Tumor otak
·
Gangguan jaringan otak
|
Status neurologi:kesadaran
Indikator:
·
Fungsi saraf
·
Kontrol pusat motorik
·
Fungsi motorik/sensori saraf otak (krnil)
·
Fungsi motorik/sensori saraf otak spinal
·
Fungsi saraf otonom
·
Tekanan dalam cranial
·
Komunikasi
·
Ukuran pupil
·
Rangsangn pupil
·
Gerakan pupil
·
Pola nafas
·
Tanda-tanda vital (WNL)
·
Aktifitas otak(yang tak terlihat)
·
Sakit kepala (yang tak terlihat)
|
Kenaikan perfusi serebral
Aktivitas:
·
dalam rentang tersebut.
·
konsultasikan dengan dokter untuk menentukan
posisi kepala dan monitor respon pasien terhadap posisi kepalanya
·
hindari fleksi leher atau fleksi panggul/
lutut yang berlebihan
·
beri dan monitor efek diuretic dan
kortikosteroid
·
berikan anti nyeri tersedia
·
monitor tanda-tanda pendarahan
·
monitor status neurologi
·
hitung dan monitor tekanan perfusi serebral
·
monitor TIK dan neurologi untuk aktivitas
perawatan
·
monitor tekanan arteri rata-rata
·
monitor tekanan kardiovaskuler
·
monitor status respirasi
·
monitor factor penentu dari transport oksigen
ke jaringan seperti PaCO2,SaO2 dan Hb serta CO2
·
montor hasil laboratorium untuk erubahan
oksigenasi dan perubahan asam basa
·
monitor intake dan output
|
BAB III
KASUS
LAPORAN ANALISA SINTESA
RUANG GAWAT DARURAT
Nama mahasiswa : Cicilia Anita No. BP : 0910321001
Nama pasien : Ny. S Umur : 19 tahun
Diagnosa medis : Cidera Kepala Ringan + Tanggal : 4 April 2012
Vulnus Ekskoriosom
No. RM : 091134
3.1
Pengkajian Primer
a.
Airway
-
Tidak ada sekret
dijalan napas
-
Tidak ada suara
napas tambahan (gurgling)
e.
Breathing
-
Napas tidak sesak
-
Tidak ada
penggunaan otot bantu pernapasan
f.
Circulation
-
Nadi : 60x/menit
-
TD : 100/60 mmHg
-
Klien pucat
-
Akral dingin
-
Kapiler refil <2
detik
-
Tidak ada
pendarahan
g.
Disability
-
GCS 14
Mata : membuka mata dengan rangsangan verbal
(3)
Verbal : orientasi baik, jawaban sesuai pertanyaan,
jawaban lambat
Motorik : melakukan perintah dengan benar
-
Klien datang ke RS
dalam keadaan tidak sadar
-
Kesadaran pasien
somnolen yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor lambat, mudah tertidur,
namun kesadaran pulih bila dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal
-
Klien mengeluh
nyeri di kedua tangan dan kaki kanan
h.
Exposure
-
Suhu 370C
-
Terdapat luka lecet
di tangan kanan (siku= 2x1x0,5) dan tangan kiri, dan terdapat luka lecet dikaki
kanan.
3.2
Diagnosa Keperawatan Prioritas
NANDA
|
NOC
|
NIC
|
Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
Data objektif:
·
Penurunan kesadaran
·
Klien tidak ingat kejadian
kecelakaan
·
Respon motorik klien lambat
·
Klien sulit berkomunikasi
·
GCS 14
·
Kesadaran klien somnolen
Data subjektif:
·
Klien mengatakan tidak bisa
mengingat kejadian kecelakaan
|
Status neurologi:kesadaran
Indikator:
·
Fungsi saraf
·
Kontrol pusat motorik
·
Fungsi motorik/sensori saraf otak (krnil)
·
Komunikasi
·
Pola nafas
·
Tanda-tanda vital (WNL)
Kemampuan Kognitif
Indikator:
·
Komunikasi lancar dan bebas sesuai umur
·
Perhatian
·
Konsentrasi
·
Orientasi
·
Menunjukkan memori cepat
·
Menunjukkan memori baru
·
Menunjukkan memori lama
·
Proses informasi
Status neurologi
Indikator:
|
Terapi oksigen
Aktivitas:
·
Bersihkan mulut,hidung dansekresi trakea,jika
diperlukan
·
Pertahankan pembekuan aliran darah
·
Mengatur alat-alat oksigen & pantau
oksigen yang mengalir perliternya
·
Berikan suplemen oksigen,jika perlu
·
Pentau perubahan posisi pengantaran oksigen
·
Perintahkan pasien tentang pentingnya
pengiriman sisa oksigen
·
Memeriksa alat pergantian oksigen untuk
menjamin konsentrasi
·
Menjamin penggantian penutupan oksigen
kapanpun alat dipindahkan
·
Memantau kemampuan pasien pada toleransi memindahkan
oksigen ketika makan
·
Mengubah alat penyampai oksigen yang masuk ke
hidung selama makan sebagai toleransi
·
Mengobservasi tanda-tanda hipoventilasi
induksi oksigen
·
Memantau tanda-tanda keracunan oksigen dan
penyerapan atelektasis
·
Memantau alat-alat oksigen untuk menjamin camur
tangan dengan usaha pasien bernafas
·
Pantau hubungan kecemasan pasien yang
dibutuhkan untuk terapi oksigen
·
Memantau kerusakan kulit dan friksi alat-alat
oksigen
·
Menyediakan oksigen ketika memindahkan pasien
·
Menginstruksikan pasien untuk mendapatkan
resep oksigen suplemen sebelum perjalanan udara atau perjalanan yang tinggi
·
Konsultasikan dengan pmberi peralatan
kesehatan lainnya tentang penggunaan suplemen oksigen selama beraktifitas dan
atau tidur
·
Perintahkan pasien dan keluarga untuk
menggunakan oksigen dalam ruangan
·
Menyusun penggunaan alat- alat oksigen untuk
membantu mobilisasi dan mengajarkan pasien
·
Mengubah peralatan pemasukan oksigen yang
lain untuk kenyamanan
Monitoring Tanda-tanda Vital
Aktivitas:
·
Memantau tekanan darah, nadi, suhu, dan tingkat respirasi
·
Mencatat kecenderungan dan perluasan
frekuensi pada tekanan
·
Memantau tekanan darah pada kedua lengan dan
membandingkanya
·
Menginisiasi dan mempertahankan tanda-tanda
dan gejala-gejala hiphothermia hipertemia
·
Mengambil tekanan ujung dan radial dengan
serentak dan catat perbedaannya
·
Pantau pilsus pantau perubahan pilsus pantau
rhitim dan tingkat kardiak
·
Pantau bunyi jantung
·
Pantau tingkat pernafasan dan rhitimnya
·
Pantau suara paru-paru
·
Pantau getaran oksimetri
·
Pantau pola pada oksimetri
·
Pantau warna kulit,temperatur dan kelembaman
·
Pantau sianosis pusat dan peripheral
·
Memantau kehadiran bertiga dari cushing (mis.
Perluasan tekanan bradikardi dan peningkatan
sistolik)
·
Mengidentifikasi penyebab yang mungkin dari
perubahan tanda-tanda vital
Memantau Neurologik
Aktivitas:
·
Pantau ukuran pupil, ketajaman, simetri dan
reaksifitas
·
Pantau tingkat kesadaran
·
Pantau tingkat dari orientasi
·
Pantau kecenderungan dari glascoucoma scale
·
Pantau ingatan yang muncul dari ingatan masa
lampau, perasaan sakit, dan tingkah laku
·
Pantau tanda-tanda vital :temperatur tekanan
darah, nadi dan pernafasan
·
Pantau status pernafasan tingkat ABG, osimetri nadi, ukuran, pola,dasar, dan usaha
·
Pantau parameter hemodinamik infasif jika
perlu
·
Pantau ICP dan CPP
·
Pantau reflek kornea
·
Pantau aliran udara
·
Catat keluhan sakit kepala
·
Pantau karakteristik bicara:fluensi, kehadiran aphasis atau kesulitan mengemukakan kata
·
Pantau respon:verbal, tactili, dan axious
·
Meningkatkan pemantauan frekuensi neurologic
·
Menghindari aktifitas yang meningkatkan
tekanan intracranial
Memantau Tekanan Intrakranial
·
Membantu memantau alat ICP
·
Menyediakan informasi untuk keluarga
·
Menstabilkan tingkat transduser
·
Irigasi system cairan
·
Memperoleh contoh cairah cerebosinal (CSF), jika perlu
·
Pertahankan tekanan perfusi otak
·
Catat respon rangsangan pasien
·
Pantau ICP pasien dan respon perawatan
·
Pantau tingkat cairan cerebrospinal yang
mengalir
·
Pantau intake dan output
·
Cek kekakuan nuchal pasien
·
Memperbaiki posisi kepala pasien dengan 30-45
derjat dan leher dengan posisi netral
·
Menurunkan stimuli lingkungan
·
Menurunkan tempat perawatan keperawatan
elevasi ICP
·
Pengubah penurunan menjadi penambahan
produksi ICP dan produksi kateter
·
Mempertahankan control hiperventilasi, jika diperintahkan
·
Mempertahankan tekanan sistemik arteri dalam
tempat yang spesifik
·
Memberikan pharmakologikal untuk
mempertahankan daerah yang spesifik
|
3.3
Implementasi dan Evaluasi
Waktu
|
Implementasi
|
Evaluasi
|
19.30 WIB
19.55 WIB
20.10 WIB
|
-
Memberikan oksigen nasal kanul
3L/menit
-
Mengukur tanda-tanda vital (TD,
nadi, pernapasan, suhu)
-
Mengontrol aliran oksigen
-
Memantau tingkat kesadaran
-
Memantau tanda-tanda vital
|
S = klien mengatakan napasnya tidak terasa sesak, klien mengatakan sudah tahu
kalau dia sedang berada dirumah sakit
O = pernapasan normal, kesadaran klien komposmentis,
TD 110/70 mmHg, Nadi 80x/menit, pernapasan 24x/menit, suhu 370C
A = perfusi jaringan serebral tidak efektif teratasi
sebagian
P = intervensi
dilanjutkan oleh perawat shift malam
|
3.4
Pengkajian sekunder
a. Riwayat
Kesehatan Sekarang
Nn. S (19 tahun) masuk IGD RS Dr. Rsidin Padang pada
tanggal 4 April 2012 pukul 19.30 WIB dalam keadaan tidak sadarkan diri setelah
mengalami kecelakaan mobil. Klien berbonceng dengan adiknya dan klien yang
mengemudikan motor. Klien jatuh dari motor dalam posisi tertelungkup, dada
terhempas kejalan. Terdapat luka lecet dikedua tangan dan kaki kanan.
b. Riwayat
Penyakit Dahulu
Klien baru pertama kali masuk RS dan baru pertama kali mengalami
kecelakaan. Klien tidak ada riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung, dan
penyakit lainnya.
c. Riwayat
Keluarga
Keluarga klien tidak ada riwayat kecelakaan, penyakit genetik,
hipertensi, DM, penyakit jantung, dan penyakit lainnya.
d. Pengkajian Head To Toe
1. Pemeriksaan
kepala dan leher
Tidak ada
pembengkakan dan luka dikepala, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
reflek cahaya (+), pupil isokhor, tidak ada gangguan panca indera, tidak ada
pendarahan pada panca indera, leher simetris, tidak ada peningkatan JVP.
2. Pemeriksaan
dada
·
Paru-paru
Inspeksi : simetris, tidak
ada penggunaan otot bantu pernapasan, tidak ada tarikan dinding dada
Palpasi : taktil fremitus simetris
Perkusi : suara paru normal
·
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpalsi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal yaitu:
Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II
LSB, kanan bawah: SIC IV
RSB, kiri bawah: SIC V medial 2 MCS
3. Pemeriksaan
abdomen
Inspeksi : simetris,
tidak ada lesi, tidak ada asites
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : peristaltic usus (+)
Auskultasi : frekuensi bising usus normal
4. Pemeriksaan
ekstremitas
Adanya luka lecet dikedua tangan dan kaki kanan, akral
dingin.
Gambar :
3.5
Diagnosa Keperawatan Sekunder
NANDA
|
NOC
|
NIC
|
Kerusakan integritas jaringan b.d trauma jaringan
Data objektif:
·
Terdapat luka di tangan kanan
(siku= 2x1x0,5), luka lecet ditangan kiri dan kaki kanan
Data subjektif:
·
Klien mengatakan terasa nyeri
di luka pada kaki dan tangannya
|
Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa
Indikator:
·
Luka jaringan
·
Perfusi jaringan
·
Keutuhan dalam skala yang
diharapkan
|
Perawatan luka
Aktivitas:
·
Bersihkan atau cukur
rambut disekeliling daerah yang terluka
·
Catat karakteristik
dari luka
·
Catat karakteristik
dari beberapa pengeluaran
·
Cuci atau bersihkan dengan sabun antibakteri sebagai tambahan
·
Cuci daerah yang luka
dengan air kran jika perlu
·
Lakukan perawatan IV
jika perlu
·
Berikan perawatan
pada daerah pusat pembluh darah
·
Lakukan perawatan
pada kulit yang lecet jika perlu
·
Pijat daeah
disekeliling luka untuk merangsang sirkulasi
·
Pertahankan patency
dari saluran pengeluaran
·
Gunakan obat salap
dengan tepat pada kulit atau luka jika perlu
·
Lakukan pembalutan
dengan tepat
·
Gunakan tehnik
membalut steril ketika sedang merawat luka
·
Periksa luka pada
setiap penggantian balutan
·
Bandingkan dan catat
perubahan pada luka
·
Posisikan pasien
untuk menghindari terjadinya ketegangan pada luka
·
Ajarkan pada pasien
atau keluarga prosedur perawatan luka
|
Resiko infeksi b.d adanya injury
Data objektif:
·
Terdapat luka di kedua tangan
dan kaki kanan
·
Luka klien kotor
Data subjektif:
·
Keluarga klien mengatakan saat
klien jatuh dari motor klien terhempas kejalan
|
Kontrol Resiko
Indikator:
·
Mengetahui resiko
·
Memperhatikan faktor resiko
lingkungan
|
Kontrol infeksi
Aktivitas:
·
Bersihkan lingkungan sekitar setelah
digunakan pasien.
·
Ganti peralatan pengobatan pasien setiap
protocol/pemeriksaan.
·
Batasi jumlah pengunjung/pembezuk.
·
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
perawatan pada pasien.
·
Gunakan sarung tangan sebagai pengaman yang
umum.
·
Pastikan teknik perawatan luka yang tepat.
·
Lakukan terapi antibiotic yang tepat
|
3.6
Implementasi dan Evaluasi
Waktu
|
Implementasi
|
Evaluasi
|
19.30 WIB
19.55 WIB
20.10 WIB
|
-
Menggunakan handscon steril
-
Membersihkan luka
-
Melakukan perawatan luka lecet
-
Memberi salep Calmicitine dan
betadin
-
Membersihkan daerah sekeliling
dan perawatan perawatan luka setelah selesai melakukan perawatan luka
-
Memberikan injeksi skin test
-
Memberikan injeksi ATS 1500 Iu
|
S = klien mengatakan rasa nyeri diluka sudah
berkurang
O = luka klien bersih
A = kerusakan integritas jaringan teratasi sebagian, resiko infeksi tidak
terjadi
P = intervensi
dilanjutkan oleh perawat shift malam
|
WOC kasus
Kecelakaan luka
di ekstremitas
|
Cidera kepala
Ekstra
kranial
Gg. Suplai O2 dalam darah
Iskemia
hipoksia
O2
ke otak
|
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Pengkajian
Pada teoritis, menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale), klien termasuk dalam Cedera Kepala ringan (kelompok
risiko rendah), yaitu:
-
GCS
13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
-
Kehilangan
kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
-
Tak ada fraktur
tengkorak
-
Tak
ada contusio serebral (hematom)
-
Tidak ada intoksikasi
alcohol atau obat terlarang
-
Pasien dapat mengeluh
nyeri kepala dan pusing
-
Pasien
dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
-
Tidak
adanya criteria cedera sedang-berat
Pada kasus, tanda dan gejala yang ditemukan
pada klien yaitu:
-
GCS klien
14
-
Kehilangan
kesadaran saat dibawa ke RS
-
Adanya
penurunan kesadaran selama <30 menit
-
Klien tidak
mampu mengingat kejadian kecelakaan
-
Tidak ada
hematom
-
Klien tidak
megeluh nyeri kepala dan pusing
-
Tidak ada
tampak tanda abrasi, laserasi, atau hematoma pada kulit kepala
Kerusakan Pada Bagian Otak
kemungkinan klien
menderita kerusakan pada lobus temporalis yaitu
lobus yang mengolah
kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka
panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori
dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Hal ini terlihat dari klien yang tidak mampu
mengingat kembali kejadian kecelakaan.
Selain itu, klien juga mengalami
penurunan kesadaran dan mengalami disorientasi saat dibawa ke RS. Namun tidak
ada ditemukan luka, bengkak, maupun tanda-tanda cidera pada kulit kepala klien.
Kemungkinan klien ada memar / laserasi
cerebral (komosio) di otaknya. Komosio
cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara
tanpa kerusakan struktur. Umumnya
meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai
beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena, pasien dapat
menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal
dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan
memar pada permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang tersebar, gejala bersifat neorologis
fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah cedera dan menimbulkan
disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada scan tomografi
terlihat masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.
Seperti yang kita
ketahui, gangguan otak bisa terjadi disertai
dengan adanya penurunan kesadaran, fraktur tengkorak, atau bengkak pada kulit
kepala. Akan tetapi, tidak jarang, bisa juga terjadi tanpa kelainan fisik yang
tampak dari luar. Ada tidaknya kelainan otak ini harus dipastikan.
Adapun pemeriksaan yang paling sering
dilakukan untuk memeriksa kelainan otak adalah CT scan. Berbeda dengan foto
rontgen biasa, pemeriksaan yang juga menggunakan sinar-X ini bertujuan melihat
bagian otak secara melintang. Dari
hasil pemeriksaan CT scan, bisa didapatkan informasi tentang bagaimana keadaan
otak. Hasil fotonya bisa menggambarkan apakah ada hematoma (perdarahan), udema
(bengkak) otak, ataupun kontusio (memar) otak. Khusus untuk hematoma, pada
tingkat tertentu, biasanya akan dilakukan operasi untuk mengeluarkan darah
hematom yang tertimbun.
4.2
Perencanaan
Semua perencanaan keperawatan yang
dituangkan pada kasus mengacu ke teoritis. Setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana tindakan keperawatan.
Pada teoritis, diagnosa keperawatan yang dapat muncul adalah:
2.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan
neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
3.
Pola napas tidak
efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
4.
Perfusi
jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
5.
Perubahan
persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
6. Resti
infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
7.
Kerusakan
mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
8.
Resti
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran,
mual, muntah.
Sedangkan pada kasus,
diagnosa yang dapat diangkat adalah :
1.
Perfusi
jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
2.
Resti infeksi b.d
trauma jaringan, kerusakan kulit
3.
Perubahan
persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
Hal
ini dikarenakan klien tidak ada gangguan pada pernapasan, baik itu gangguan
jalan napas maupun pola napas. Klien tidak ada sumbatan jalan napas, tidak ada sekret dijalan
napas, tidak ada suara napas tambahan (gurgling), napas tidak
sesak, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, dan tidak ada pernapasan
cuping hidung. Sehingga pada perencanaan, diagnosa tersebut tidak diangkat.
4.3 Implementasi
Implementasi keperawatan yang
dilaksanakan dari tanggal 4 April 2012 sesuai dengan rencana tindakan
keperawatan, yaitu:
Diagnosa primer
|
||
Diagnosa Keperawatan
|
Waktu
|
Implementasi
|
Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
|
19.30 WIB
19.55 WIB
20.10 WIB
|
-
Memberikan oksigen nasal kanul
3L/menit
-
Mengukur tanda-tanda vital (TD,
nadi, pernapasan, suhu)
-
Mengontrol aliran oksigen
-
Memantau tingkat kesadaran
-
Memantau tanda-tanda vital
|
Diagnosa sekunder
|
||
Resioko infeksi b.d trauma jaringan
|
19.30 WIB
19.55 WIB
20.10 WIB
|
-
Menggunakan handscon steril
-
Membersihkan luka
-
Melakukan perawatan luka lecet
-
Memberi salep dan betadin
-
Membersihkan daerah sekeliling
dan perawatan perawatan luka setelah selesai melakukan perawatan luka
-
Memberikan injeksi skin test
-
Memberikan injeksi ATS 1500 Iu
|
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Cedera kepala
adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala.
Kerusakan
pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks
serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan
beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Manifestasi
Klinis yang ditemukan adalah gangguan
kesadaran, konfusi, perubahan TTV, sakit kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan
muntah, pusing kepala, terdapat
hematoma, dan lain-lain.
Berdasarkan kajian
teoritis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat ditegakkan diagnosa keperawatan
pada klien dengan cedera kepala, sebagai berikut:
1. Perubahan
perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
2. Perubahan
persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
3. Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan
neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
4. Resti
infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
Dianosa tersebut tidak selalu semuanya dapat ditegakkan,
hal ini sesuai dengan kondisi klien saat itu.
5.2
Saran
Penanganan pada
klien dengan cedera kepala sangat ditekankan agar tidak terjadi kerusakan otak
sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak
dengan cepat dan tepat sesuai dengan standar asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan
Medikal Bedah. Bandung: IAPK Pajajaran
Brunner & Suddarth. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta:EGC
Closkey
,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996).
Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.
Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. 1994. Keperawatan
Kritis. Jakarta: EGC
Johnson,Marion,
dkk. (2000). Nursing Outcome
Classifications (NOC). St. Louis :Mosby Year-Book
Juall,Lynda,Carpenito
Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis
Keperawatan edisi 10.Jakarta:EGC
Swear Ingen. 1996. Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis,
Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta : EGC
Cecily LB & Linda AS. 2000. Buku Saku
Keperawatan Pediatrik , Edisi 3. Jakarta : EGC
Suzanne CS & Brenda GB. 2000. Buku Ajar Medikal
Bedah, Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Wiley
dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses:
Definition & Classification 2009-2011, NANDA.Singapura:Markono print
Media Pte Ltd
i like this sista n_n
BalasHapusThanks sangat membantu, kunjungi juga bog saya http://yayannerz.blogspot.com
BalasHapusmantap... trimakasih !
BalasHapus