Kamis, 19 Mei 2011

ASUHAN KEPERAWATAN SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

Download ASKEP DISINI atau klik download link:
http://www.ziddu.com/download/16469146/askepSLE.docx.html

Download WOC SLE DISINI atau klik download link: 
http://www.ziddu.com/download/16469147/WOC.docx.html






BAB I
PENDAHULUAN
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus  per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus    per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE   di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.

Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Definisi
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem  yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem   imun   dan    produksi    autoantibodi    yang    berlebihan    (Albar, 2003).

2.2  Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi  oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif  yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda – beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).

2.3  Etiologi
a.       Genetik
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar  non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen   yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

b.      Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

c.       Makanan
Seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).

d.      Infeksi virus dan bakteri
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).

2.4  Klasifikasi
      Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a.       Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul  di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

b.      Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

c.       Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing  oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).
Definitely
Possible
Unlikely
Hidralazin
Prokainamid
Isoniazid
Klorpromazin
Metildopa
Antikonvulsan               Propitiourasil
Fenitoin                         Metimazol
Karbamazepin               Penisilinamin
Asam valproat               Sulfasalazin
Etosuksimid                   Sulfonamid
β-bloker                         Nitrofurantoin
Propranolol                    Levodopa
Metoprolol                     Litium
Labetalol                        Simetidin
Acebutolol                     Takrolimus
Kaptropil
Lisinopril
Enalapril
Kontrasepsi oral
Griseofulvin
Penisilin
Garam emas
Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

2.5  Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4  (Epstein, 1998).

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2  yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T  (Mok dan Lau, 2003).

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Epstein, 1998).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

WOC

infeksi                      Hormonal                   Lingkungan               Obat-Obatan
(virus,bakteri)         (estrogen)                   (sinar UV)              (klorofromazin,                                                                                                                   metildopa,
                                 Estrogen                                                          prokainamid)
                                                            
                                                               Perub struk. DNA            memperlambat                                                                                                                               asetilasi obat   
                                                                                                                                
                                                                                               akumulasi obat d tbh

                                           Gg, regulasi sitem imun                  berikatan dg
                                                                                                   protein tbh




               Fungsi sel T-supresor yang abnormal                   
Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan




Autoantibody yang berlebihan

SLE

               SSP         penglihatan                                      paru                                 kardiak




Kerusakan neuron  inflamasi pemb    penump cairan    inflamasi sal napas     lapJantung rsk
                               Darah di retina                                                                 

Mati rasa, lemah       skleritis          pengembangan paru       pleuritis            penyemp. katup
Cemas, depresi
                           MK: Resiko cidera       efusi plura             nyeri dada            napas pendek
MK: Gg kognitif                        MK: Gg pola napas     MK: Gg rasa nyaman (nyeri)


2.6  Kriteria SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
a.       Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.
b.      Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
c.       Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya matahari.
d.      Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
e.       Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak, atau efusi.
f.       Serositis
·         Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau adanya efusi pleura.
·         Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau efusi perikard.
g.      Kelainan ginjal
·         Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
·         Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
h.      Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
i.        Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3),  atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
j.        Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi antifosfolipid
k.      Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat   dan tidak ada obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).

2.7  Data laboratorium
a.       Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif          : < 70 IU/mL
Positif             :  > 200 IU/mL

            Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

            Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal                   maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

b.      Antinuclear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
            ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,  hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan  tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).

c.       Tes Laboratorium lain
            Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis,           serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

2.8  Manifestasi klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia  umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki  (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis  eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud  (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada jantung  sering ditandai adanya perikarditis,  miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi:

Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi  vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien  saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada  5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).

Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL  adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia   atau   trombositopenia,   maka   dapat   terjadi     perdarahan.

Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005).

Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia  atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).                         

Gejala klinik  pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).

2.9  Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisik/ psikis.

Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.

2.10          Penatalaksanaan Medis
a.      Tes Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan:
·         Hematologi: ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia
·         kelainan imunologis: ditemukan sel LE, antibodi antinuklear, komplemen serum menurun trioglobulin, faktor reumatoid dan uji terhadap lues yang positif (semu).

Pemeriksaan khusus
·         Biopsi ginjal
·         Biopsi kulit
·         Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada      kulit yang tidak terkena (70%).

Evaluasi Diagnostik
            Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.

b.      Terapi
1.      Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen, naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.

2.      Obat-obatan corticosteroid, seperti prednison, prednisolone, medrol, deltasone, cortison. dapat mengurangi peradangan dan memugarkan kembali fungsi ketika penyakit aktif. Corticosteroids terutama berguna ketika organ-organ internal terlibat. Corticosteroids dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung kedalam sendi-sendi dan jaringan-jaringan lain, atau dimasukkan melalui urat nadi (intravenously). Sayangnya, corticosteroids mempunyai efek-efek sampingan yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi untuk periode-periode waktu yang panjang, termasuk penambahan berat badan, penipisan dari tulang-tulang dan kulit, infeksi, diabetes, muka yang bengkak, katarak, dan kematian (necrosis) dari sendi-sendi besar.

3.      Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan  mengurangi secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien dengan SLE sistemik.

4.      Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ. (lupus bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.

5.      Penelitian baru-baru ini mengindikasikan keuntungan-keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam merawat lupus. Rituximab adalah suatu antibodi yang diinfus melalui urat nadi yang menekan suatu sel darah putih yang tertentu, sel B, dengan mengurangi jumlahnya didalam sirkulasi. Sel-sel B telah ditemukan memainkan suatu peran pusat pada aktivitas lupus, dan ketika mereka ditekan, penyakitnya cenderung menuju remisi.

6.      Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan mengurangi risiko penyakit jantung.

Obat-obatan yang sebaiknya dihindari penderita lupus
      Tidak ada obat yang sangat tepat atau sangat tidak tepat bagi pasien SLE. Harus memperhatikan faktor alergi terhadap obat-obatan tertentu, dan mempelajari hubungan antara masa kambuh dan hormon estrogen atau pil KB. Pasien terutama harus berhati-hati pada obat-obatan antibiotik sulfa(Bactrim, gantrisin, septra) sering diberikan pada orang yang mengalami gangguan infeksi pada saluran kencing, dan dapat menambah kepekaan penderita lupus terhadap sinar matahari, mengakibatkan rendahnya jumlah darah merah yang biasanya diikuti kambuhnya penyakit.

2.11          Asuhan keperawatan
a.      Kasus
      Ny. K datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, timbulnya kemerahan pada pipi dan kulit. Demam yang tidak hilang sudah 1 bulan, sering merasa lelah dan lemah, sariawan yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg. Hasil tes ANA ( + ) dan anti ds-DNA 350 Iu/ml, Hb 10 gr/dl, saat ini pesien diberikan obet PCT 3x500 mg. Dexametazon 2x1 tab, dan Piroksikam 3x20 mg, Vit B kompleks 3x1 tab Neorobin 3x1 tab.
a.       Buatkan proses perjalanan penyakit dengan WOC beserta konsep
b.      Buatlah pengkajian tambahan dengan 11 Fungsional Gordon
c.       Buatlah masalah keperawatan yang mungkin timbul !
d.      Buatlah 2 buah diagnosa lengkap dengan NOC, NIC yang utama pada NY.K
e.       Perbedaan penyakit AIDS dan Lupus Editema Tosus.

b.      Pengkajian pola fungsional Gordon
1)      Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
            Klien baru pergi ke RS setelah demam yang dirasakannya tidak hilang sudah semenjak 1 bulan yang lalu. hal ini bisa terjadi karena klien tdak mengetahui tentang penyakitnya sehingga klien merasa kalau dia hanya demam biasa dan tidak perlu berobat ke RS.            

2)      Pola nutrisi metabolic
            Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya samapi beberapa kg, penyakit ini diseratai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
            Pada kasus pasien mengeluh sariawan yang hilang timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg

3)      Pola eliminasi
            Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun  secara klinis penderita ini juga mengalami diare.

4)      Pola aktivas latihan
            Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa dan sering mengalami nyeri pada persendian nya.
            Pada kasus, klien datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, sering merasa lelah dan lemah sehingga aktivitas klien mengalami gangguan. 

5)      Pola istirahat tidur
            Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri yang dirasakannya.

6)      Pola kognitif persepsi
            Pada penderita SLE, Daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik. Pada sistem neurologis, penderita bisa mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

7)      Pola persepsi diri dan konsep diri
            Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
            Pada kasus, penderita bisa merasa malu karena timbulnya kemerahan pada pipi dan kulitnya.

8)      Pola peran hubugan
            Penderita tidak dapat melakukan pekerjaan atau kegiatan yang biasa dilakukan selama sakit. Namun masih dapat berkomunikasi. Selama sakit pasien tidak dapat melakukan perannya sehari-hari dengan baik.

9)      Pola reproduksi dan seksualitas
            Biasanya penderita LES tidak mengalami gangguan dalam pola seksual reproduksi.

10)  Pola koping dan toleransi stress
            Biasanya klien merasa depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang dihadapi. Untuk menghadapi semua ini klien perlu selalu diberi dukungan oleh keluarga dan tetangganya sehingga klien semangat untuk sembuh.
            Klien juga diberi obat-obatan seperti Dexametazon yang berfungsi untuk mengobati pegal linu, peradangan sendi dan juga memperbaiki imunitas. Klien juga diberi obat Piroksikam untuk obat anti inflamasi yang dapat mengatasi nyeri karena peradangan.

11)  Pola nilai dan kepercayaan
            Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri sendi.    

c.       Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan :
1)      Gangguan  integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
2)      Nyeri berhubungan dengan inflamasi

Ganggguan rasa nyaman nyeri kronik berhubungan dengan  inflamasi
Defenisi: ketidaknyamanan pengalaman sensoris dan emosional terhadap gangguan jaringan actual dan potensial.
Batasan karakteristik:
·         Anaroxia
·         Lemah
·         Ekspreis verbal tentang nyeri

NOC
Control nyeri p. 326
Defenisi: perilaku individu dalam mengontrol nyeri.
Indicator:
§  Mengakui factor penyebab
§  Mengetahui nyeri
§  Menggunakan obat analgesic
§  Menjelaskan gejala nyeri
§  Melaporkan control nyeri yang telah dilakukan


NIC
Pain management (Manajemen nyeri) p. 412
Aktivitas:
o   Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan factor presipitasi
o   Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
o   Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
o   Kaji budaya yang mempengaruhi respion nyeri
o   Determinasi akibat nyeri terhadap kualitas hidup
o   Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
o   Control ruangan yang dapat mempengaruhi nyeri
o   Kurangi factor presipitasi nyeri
o   Pilih dan lakukan penanganan nyeri
o   Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri
o   Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
o   Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
o   Evaluasi keefektifan control nyeri
o   Tingkatkan istirahat
o   Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
o   Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

NANDA
Gangguan  integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
Defenisi: perubahn epidermis dan dermis
Batasan karakteristik:
·         Gangguan lapisan kulit
·         Gangguan penampilan kulit
·         Inflasi struktur tubuh

Factor yang berhubungan:
·         Eksternal:
o   Pengobatan
·         Internal
o   Perubahan warna kulit
o   Ketidakseimbangan nutrisi
o   Gangguan status metabolic
o   Gangguan sensasi

NOC
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa p. 427
Defenisi : keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane mukosa.
Indicator:
§  Temperature jaringan dalam batas normal
§  Sensasi
§  Pigmentasi
§  Tekstur
§  Lesi jaringan
§  Perfusi jaringan
§  Keutuhan kulit

NIC
Perawatan kulit p. 512
Defenisi: mengumpulkan dan menganalisis data pasien dalam memelihara integritas kulit dan membrane mukosa.
Aktivitas:
o   Mengobservasi warna, panas, pembengkakan,tekstur, dan edema ekstremitas
o   Menginspeksi kulit dan membrane mukosa apakah kemerahan atau panas tinggi
o   Memonitoring area kulit yang kemerahan dan mengalami gangguan
o   Memonitor kulit dan membrane mukosa terhadap perubahan warna dan memar
o   Monitor warna kulit
o   Monitor suhu kulit


2.12          Perbedaan Penyakit HIV/AIDS dengan SLE

FAKTOR PEMBEDA
HIV/AIDS
SLE
Sel yang diserang
sel T helper (CD4)
Sel T supresor (CD8)
Etiologi
Karena virus HIV
Tidak disebabkan oleh virus (autoimun)
Manifestasi klinis
Sesak napas, batuk, nyeri dada, demam, mual, diare kronis, kandidiasis oral, enselophati
Letih, lemah, arthritis, pleuritis, perikarditis, anemia, trombositopenia, leucopenia
Sifat
Dapat menular
Tidak menular
Gejala khas
Tidak ada sarcoma
Adanya sarcoma (rush) atau kemerahan pada pipi dan tulang hidung
Prevelansi
Dapat terjadi pada siapa saja
Dominan pada wanita










BAB III
PENUTUP

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).                              

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).














DAFTAR PUSTAKA
Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.
Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis :Mosby Year-Book
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 10.Jakarta:EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta. EGC
Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Brunner Suddarth, Vol. 2. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-2011, NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd

/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentnya Disini yaxc!!!!