Jumat, 18 Februari 2011

KONSEP DAN MAKNA PEMBELAJARAN

Download makalah DISINI atau klik:

http://www.ziddu.com/download/16498218/konsepdanmaknapembelajaran.doc.html
 

                                                                                                       

PEMBAHASAN
BAB II

A.     Arti dan Makna Pembelajaran
Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pebelajar, pengajar dan bahan ajar. Komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media. Pembelajaran adalah cara membe lajarkan bagaimana siswa agar bisa belajar secara efektif dan efesien.
 Media pembelajaran adalah komponen strategi penyampaian yang dpt dimuati pesan yang akan disampai kan kepada pebelajar baik berupa orang, alat maupun bahan interaksi pebelajar dengan media.Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menyam paikan pesan pembelajaran.
Pada perkembangan selanjutnya Martin dan Briggs (1986) memberikan batas an mengenai media pembelajaran yaitu men cakup semua sumber yang diperlukan untuk melakukan komunikasi dengan siswa.
B.      Pendekatan Belajar dan Pembelajaran
Ada beberapa macam pendekatan pembelajaran yang digunakan pada kegiatan belajar mengajar, antara lain :
1.      Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya. Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam kelas dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001: 8). Dengan memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiranagar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.Guru bertugas mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata guru.
Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesame teman, misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan ketrampilan sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible,
Klopher, dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
2.      Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba(Suwarna,2005).
Piaget (1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio (1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999)  kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman (1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu, konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne, Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan konsep-konsep yang sedia ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran kerana belajar digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkaitkan perkara yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang sesuatu perkara.
Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999) membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998), dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan.
3.      Pendekatan Deduktif – Induktif
a.      Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya(Suwarna,2005).
b.      Pendekatan Induktif
Ciri uatama pendekatan induktif dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun konsep atau untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan mungkin merupakan data primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan.

Prince dan Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan teori. Di bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan. Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new learning involves transfer of information based on previous learning”, artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis pembelajaran sebelumnya.

Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep. Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1) definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi yang disampaikan.

Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif . Beberapa contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inkuiri, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamati terhadap hal-hal khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur berdasar pengamatan siswa sendiri.

Major (2006) berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000: 16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya digunakan secara bergantian.

4.      Pendekatan Konsep dan Proses
a.      Pendekatan Konsep
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep berarti siswa dibimbing memahami suatu bahasan melalui pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajaran tersebut penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi fokus. Dengan beberapa metode siswa dibimbing untuk memahami konsep.
b.      Pendekatan Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan belajar.
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama, proses
mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi bagi
peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi bagian
integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan pengalaman
yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya sendiri.
Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik dalam
setiap proses pendidikan yang dialaminya.

5.      Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
Pembelajaran  dengan pendekatan STM haruslah diselenggarakan dengan cara mengintegrasikan berbagaidisiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai hubungan yangterjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalampengembangan pembelajaran di era sekarang ini.

Pandangan tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a understand the many ways that scinence and technology shape culture, values, and institution, and how such factors shape science and technology. STM dengandemikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi.

Hasil penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek : kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari – hari, yang dalam pemecahannya menggunakan langkah – langkah.

C.   Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Belajar
Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
1.      Faktor Fisiologis 
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor-faktor ini dibedakan menjadi dua macam.  Pertama, keadaan tonus jasmani. Keadaan tonus jasmani pada umumnya sangat mempengaruhi aktivitas belajar seseorang. Kondisi fisik yang sehat dan bugar akan memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan belajar individu. Kedua, keadaan fungsi jasmani/fisiologis. Selama proses belajar berlangsung, peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat mempengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfungsi dengan baik akan mempermudah aktivitas belajar dengan baik pula. Dalam proses belajar, merupakan pintu masuk bagi segala informasi yang diterima dan ditangkap oleh manusia. Sehingga manusia dapat menangkap dunia luar. Panca indra yang memiliki peran besar dalam aktivitas belajar adalah mata dan telinga. Oleh karena itu, baik guru maupun siswa perlu menjaga panca indra dengan baik, baik secara preventif maupun secara yang bersifat kuratif. Dengan menyediakan sarana belajar yang memenuhi persyaratan, memeriksakan kesehatan fungsi mata dan telinga secara periodic, mengonsumsi makanan yang bergizi , dan lain sebagainya.
2.      Faktor Psikologis
Faktor –faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Beberapa faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses belajar adalah kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap dan bakat.
a.      Kecerdasan /Intelegensia Siswa 
Pada umumnya kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksikan rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga organ-organ tubuh lainnya. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentunya otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sebagai organ pengendali tertinggi (executive control) dari hampir seluruh aktivitas manusia.
Kecerdasan merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar siswa, karena itu menentukan kualitas belajar siswa. Semakin tinggi intelegensia seorang individu, semakin besar peluang individu tersebut meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat intelegensia individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar. 
b.      Motivasi
Motivasi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan kegiatan belajar siswa. Motivasilah yang mendorong siswa ingin melakukan kegiatan belajar. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses di dalam diri individu yang aktif, mendorong, memberikan arah, dan menjaga perilaku setiap saat (Slavin, 1994). Motivasi juga diartikan sebagai pengaruh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan terhadap intensitas dan arah perilaku seseorang. 
Dari sudut sumbernya motivasi dibagi menjadi dua, yaitu :
o   Motivasi intrinsic
Motivasi intrinsic adalah semua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan memberikan dorongan untuk melakukan sesuatu. Seperti seorang siswa yang gemar membaca, maka ia tidak perlu disuruh-suruh untuk membaca, karena membaca tidak hanya menjadi aktifitas kesenangannya, tapi bisa jadi juga telah menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar, motivasi intrinsic memiliki pengaruh yang efektif, karena motivasi intrinsic relatif lebih lama dan tidak tergantung pada motivasi dari luar(ekstrinsik).
Menurut Arden N. Frandsen (Hayinah, 1992), yang termasuk dalam motivasi intrinsic untuk belajar antara lain adalah:
·         Dorongan ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
·         Adanya sifat positif dan kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
·         Adanya keinginan untuk mencapai prestasi sehingga mendapat dukungan dari orang-orang penting, misalkan orang tua, saudara, guru, atau teman-teman, dan lain sebagainya.
·         Adanya kebutuhan untuk menguasai ilmu atau pengetahuan yang berguna bagi dirinya, dan lain-lain.

o   Motivasi ekstrinsik.
Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang dating dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orang tua, dan lain sebagainya. Kurangnya respons dari lingkungan secara positif akan mempengaruhi semangat belajar seseorang menjadi lemah.  
c.       Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (Syah, 2003) minat bukanlah istilah yang popular dalam psikologi disebabkan ketergantungannya terhadap berbagai faktor internal lainnya, seperti pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Namun lepas dari kepopulerannya, minat sama halnya dengan kecerdasan dan motivasi, karena memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar, ia akan tidak bersemangat atau bahkan tidak mau belajar. Oleh karena itu, dalam konteks belajar di kelas, seorang guru atau pendidik lainnya perlu membangkitkan minat siswa agar tertarik terhadap materi pelajaran yang akan dihadapinya atau dipelajarinya.
d.      Sikap
 Dalam proses belajar, sikap individu dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajarnya. Sikap adalah gejala internal yang mendimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relative tetap terhadap obyek, orang, peristiwa dan sebaginya, baik secara positif maupun negative (Syah, 2003).
e.      Bakat
Faktor psikologis lain yang mempengaruhi proses belajar adalah bakat. Secara umum, bakat (aptitude) didefinisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan dating (Syah, 2003). Berkaitan dengan belajar, Slavin (1994) mendefinisikan bakat sebagai kemampuan umum yang dimilki seorang siswa untuk belajar. Dengan demikian, bakat adalah kemampuan seseorang menjadi salah satu komponen yang diperlukan dalam proses belajar seseorang. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil.

 Faktor-faktor Eksogen/Eksternal
  1. Lingkungan Sosial
a.      Lingkungan sosial sekolah
Seperti  guru , administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik disekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.
b.      Lingkungan sosial masyarakat.
Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan mempengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.
c.       Lingkungan sosial keluarga.
Lingkungan ini sangat mempengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.
  1. Lingkungan non sosial.     
a.      Lingkungan alamiah,
Seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.
b.      Faktor instrumental,
yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olah raga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabus dan lain sebagainya.
c.       Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa).
Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.

D.     Motivasi dalam belajar
Tujuan-tujuan pembelajaran akan dengan mudah dicapai apabila peserta didik termotivasi. Dalam bukunya Educational Psychology, Stephen N Elliot dkk mendefinisikan motivasi sebagai sebuah keadaan internal yang mendorong kita untuk melakukan tindakan, mendorong kita pada arah tertentu serta membuat kita tetap bertahan melakukan kegiatan tertentu. Beberapa alasan mengapa motivasi berpengaruh sangat besar dalam pembelajaran adalah :
  1. Motivasi membangkitkan energy
  2. Motivasi mengarahkan seseorang pada tujuan-tujuan tertentu
  3. Motivasi mendorong orang untuk memulai kegiatan serta bertahan melakukan aktivitas tersebut. Motivasi dapat menimbulkan minat seseorang terhadap sesuatu, mempelajarinya secara lebih bermakna, dan mempraktikkannya.
Motivasi itu sendiri terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah perilaku yang muncul karena minat dan keingintahuan yang muncul dari dalam diri seseorang. Motivasi ekstrinsik adalah perilaku seseorang yang muncul karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti penghargaan, hukuman, atau tekanan sosial.
Mengingat pentingnya faktor motivasi ini maka setiap pihak yang terlibat dalam aktivitas persekolahan harus berusaha memperhatikan dan mencari cara untuk menumbuhkan, menjaga, serta mengarahkan motivasi tersebut agar peserta didik dapat meraih prestasi optimal. Richard I Arends dalam bukunya Learning to Teach menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memotivasi para peserta didik, antara lain:
  1. Sikap percaya guru pada kemampuan siswa
Banyak hal yang mempengaruhi siswa yang dibawanya ke sekolah seperti kepribadiannya, pengalaman masa lalunya, kehidupan di rumah, dsb. Faktor-faktor ini memang dapat mempengaruhi seberapa keras mereka berupaya di sekolah. Namun demikian, faktor-faktor tersebut tidak banyak dapat diubah oleh para guru. Hal paling penting yang dapat dilakukan guru sepenuhnya adalah perilaku dan kepercayaan guru itu sendiri terhadap peserta didik. Meyakini bahwa setiap peserta didik dapat belajar dan karenanya memiliki potensi untuk berkembang secara maksimal dapat mempengaruhi pola pendekatan pembelajaran guru di sekolah menjadi lebih telaten dan promotif. Sehingga, menimbulkan kepercayaan diri siswa dan keyakinan bahwa mereka dapat mengatasi permasalahan-permasalahan pembelajaran yang mereka hadapi.
  1. Menciptakan situasi belajar yang positif
Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, aman, dan nyaman, penting untuk dapat memotivasi siswa.
  1. Membangun perhatian dan nilai-nilai intrinsik siswa
Membangun perhatian dan motivasi intrinsic peserta didik merupakan hal yang penting. Beberapa hal yang dapat membangun minat dan keingin tahuan para siswa yaitu :
- Hubungkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa
- Gunakan nama siswa dalam memberi ilustrasi yang positif
- Sajikan materi pelajaran dalam bentuk cerita secara bersemangat. Misalnya : ''Ketika kalian memesan milkshake (sebut merek terkenal tertentu) kesukaan kalian, maka dia tidak akan mencair meskipun kalian panaskan di dalam oven. Hal itu disebabkan oleh bahan pengemulsi yang terbuat dari ganggang yang sedang kita pelajari ini.''
Selain itu penggunaan permainan, simulasi, perjalanan edukatif, pembicara tamu dapat memotivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran di sekolah.
  1. Mengatur Tingkat Kesulitan Tugas
Tugas-tugas yang terlalu mudah hanya menuntut sedikit upaya dan tidak menghasilkan keinginan untuk sukses sehingga otomatis tidak bias memotivasi. Demikian pula tugas yang terlalu sulit dikerjakan seberapa besar pun upaya mereka juga tidak memotivasi bahkan mungkin menimbulkan frustasi. Oleh karena itu tingkat kesulitan tugas-tugas yang diberikan harus proporsional.
  1. Memanfaatkan balikan (feedback)
Feedback mengenai performa yang baik dapat menumbuhkan motivasi intrinsik. Sebaliknya, feedback terkait performa yang kurang baik dapat menjadi masukan yang berguna bagi peserta didik untuk dapat memperbaikinya asal memang benar-benar ditindak lanjuti. Oleh karena itu, soal-soal evaluasi yang telah diberikan sebaiknya dibahas kembali sehingga peserta didik mengetahui kegagalan mereka dalam menyelesaikan beberapa soal tersebut.
  1. Memperhatikan kebutuhan siswa
Secara umum kebutuhan siswa akan determinasi diri yaitu kemampuan untuk menentukan pilihan-pilihan akan terpenuhi ketika mereka merasa diberi hak untuk memberi pernyataan mengenai lingkungan kelas mereka dan tugas-tugas belajar mereka.
  1. Fasilitasi pembentukan kelompok dan kohesi kelompok
Membangun sebuah lingkungan kelas yang positif dapat memotivasi siswa untuk meraih prestasi. Hal ini menuntut perhatian terhadap kebutuhan sosial dan emosional siswa di samping kebutuhan akademik mereka. Bekerja dalam kelompok dengan target yang terukur dan kompetitif dapat menjadi pendorong semangat siswa dalam menunaikan tugas-tugas belajar mereka. Demikianlah beberapa hal yang dapat menumbuhkan dan menjaga motivasi siswa dalam belajar. Tentu di samping itu masih banyak hal yang dapat memotivasi para siswa. Yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana tindak laku dan titah tutur para guru, karyawan, dan pimpinan sekolah terhadap siswa bersifat positif dan membangun kepercayaan diri siswa bukan malah merendahkan kepercayaan diri mereka

E.   Tahapan Belajar
1.      Menurut Jerome S. Bruner
Karena belajar itu merupakan aktivitas yang berproses, sudah tentu didalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang antara satu dengan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional. Menurut Burner, salah seorang penentang teori S-R Bond yang terbilang vokal (Barlow, 1985), dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga episode/ tahap, yaitu:
a.      tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tahap informasi, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Di antara informasi yang diperoleh itu ada yang sama sekali baru dan berdiri sendiri, ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengeahuan yang sebelumnya telah dimiliki.
b.      tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap transformasi, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi siswa pemula, tahap ini akan berlangsung sulit apabila tidak disertai dengan bimbingan anda selaku guru yang diharapkan kompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat untuk melakukan pembelajaran tertentu.
c.       tahap evaluasi (tahap penialain meteri)
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah ditransfornasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan masalah yang dihadapi. Tak ada penjelasan rinci mengenai sara evaluasi ini, tetapi agaknya analogdengan peristiwa retrieval untuk merespons lngkungan yang sedang dihadapi.

2.      Menurut Arno F Wittig
Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of learning, setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan yaitu:
a.      acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi)
Pada tingkatan acquisition seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus dan melakukan respons terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi pila asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya. Proses acquisition dalam belajar merupakan tahap paling mendasar. Kegagalan dalam tahap ini akan mengakibatkan kegagalan pada tahap-tahap berikutnya.
b.      storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tingkatan storage seorang siswa secara otomatis akan mengalami proses penyimpanan pemahaman dan perilaku baru yang ia proleh ketika menjalani proses acquitision. Peristiwa ini sudah tentu melibatkan fungsi short term dan long term memori.
c.       retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Pada tingkatan retrieval seorang siwa akan mengaktifkan kembai fungsi-fungsi sistem memorinya, misalnya ketika ia menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Proses retrieval pada dasarnya adalah upaya atau peristiwa mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori berupa informasi, simbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respons atau stimulus yang sedang dihadapi.

F.       Pembelajaran Dewasa dan Anak
Proses belajar bagi anak-anak dan orang dewasa tidak sama. Belajar bagi anak-anak bersifat untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sedangkan bagi orang dewasa lebih menekankan untuk apa ia belajar.

Konsep diri pada seorang anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Ketika ia beranjak menuju dewasa, ketergantungan kepada orang lain mulai berkurang dan ia merasa dapat mengambil keputusan sendiri. Selanjutnya sebagai orang dewasa, ia memandang dirinya sudah mampu sepenuhnya mengatur diri sendiri.

Dalam proses pembelajaran orang dewasa (andragogi), ia menghendaki kemandirian dan tidak mau diperlakukan seperti anak-anak, misalnya ia diberi ceramah oleh orang lain tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Apabila orang dewasa dibawa pada situasi belajar yang memperlakukan dirinya dengan penuh penghargaan, maka ia akan melakukan proses belajar dengan penuh penghargaan pula. Ia akan melakukan proses belajar dengan pelibatan dirinya secara mendalam. Situasi tersebut menunjukkan orang dewasa mempunyai kemauan sendiri untuk belajar. Oleh sebab itu perlu diketahui cara-cara yang efektif untuk pembelajaran orang dewasa.


                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentnya Disini yaxc!!!!